Tak
Perlu Menjauh, Aku Tak Kan Mendekat
Pagi itu matahari
bersinar cerah. Memantulkan cahaya yang sangat cerah. Aku berpikir hari itu akan jadi hari yang
cerah juga untuk hidupku. Sudah hampir 16 bulan aku menjalani hubungan jarak
jauh dengan Andi teman dekatku. Hari itu hari yang bersejarah untuk dirinya.
Seminggu yang lalu Andi
menghubungiku melalui pesan singkatnya malam-malam, ”Nina, aku sudah di bandara.
Besok kamu ada acara? Kita bertemu ya ”.
Aku pun senang bukan
kepayang. Rasanya semua beban dalam diriku hilang seketika. Kesehatanku yang
kurang baik pun berubah. Aku sangat bahagia mendengarnya. Dia bukanlah sosok
yang romantis. Tapi dia selalu berusaha untuk menjadi pria yang lebih baik
dimataku.
Esok hari pun tiba. Sedari
matahari terbit aku telah siapkan diriku untuk bertemu dengannya. Mulai dari
berluluran hingga pergi ke salon untuk merapihkan rambutku. Aku pun menanyakan
kabar darinya.
“Andi, kita jadi pergi?”,
tanyaku halus.
“Nina, maaf banget. Langit
sudah gelap. Sebentar lagi turun hujan. Kurasa kita tidak bisa bertemu. Nah sekarang
sudah hujan dan nanti malam aku ada acara”, balas Andi dengan jelas.
Saat itu aku hanya bisa
diam. Hal yang paling ku nantikan hanya dapat bertemu dengannya. Tak masalah
walau hanya 10 menit. Asalkan aku bisa melihat wajahnya yang ku rindukan itu. Aku
hanya bisa menahan ego ku. Rasa rinduku yang tak tertahankan hanya bisa ku
tahan dalam sanubariku. Tak banyak hal yang bisa kulakukan. Dan aku segera
membalas pesan singkatnya.
“Andi, tak apa jika kita
tidak bisa bertemu. Nanti juga kamu bakal pulang lagi. Aku tau, kamu pulang
bukan untuk bertemu denganku. Tak masalah. Kamu urus saja urusanmu itu”,
jawabku pasrah.
Andi sangat merasa
tidak enak kepada ku. Aku dan Andi pun berselisih paham. Aku sudah bilang tidak
apa – apa. Tapi Andi tetap ingin bertemu. Tidak lama setelah itu Andi tiba di
rumahku. Dia menjemputku. Bagaimana aku tidak senang. Melihat kembali sosok
pria yang sangat mendebarkan jantungku itu. Mood ku yang rusak, berubah menjadi
baik. Aku kira ini semua pertanda baik ternyata tidak.
Sedikit tersirat
dipikiranku, apakah dia datang karena rindu padaku atau karena dia tidak enak
kepadaku? Andi dan aku sudah cukup lama kenal. Aku sudah merasa nyaman
dengannya. Bagaimana tidak? Meskipun dia
jauh disana, dia selalu berusaha memberikan waktunya untuk ku. Setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan,
dan tahun yang kita lewati Andi selalu bisa membuatku percaya akan semua
perkataannya.
Pertemuan yang seperti
drama itu ternyata pertemuan terakhir untuk kita. Sekarang aku sudah paham.
Andi tak pernah menyadarinya. Sikap nya telah berubah sejak kita masuki usia
hubungan 14 bulan. Aku seperti merasa kalau dia sudah tidak seperti dahulu. Aku
tak pernah membicarakan perubahan itu. Aku hanya dapat diam dan menyimpannya
dalam sabar.
Pertemuan terakhir kita
sungguh indah. Dia bertingkah sungguh manis. Bertingkah seakan tak ingin pergi
dan lepas dari diriku. Tak pernah ku sadari kalau perasaannya sangat tulus
kepadaku. Hingga membuat ku terbuai dalam manisnya tingkah lakunya itu. Sampai aku
merasa di puncak cinta yang indah.
“Nina, besok aku ada
acara. Besoknya lagi aku harus balik untuk kuliah kembali. Tolong pahami aku
jika kita gagal bertemu. Jika kamu harus menungguku begitu lama”, kata Andi
sambil menggenggam tanganku erat.
Aku tak mengerti. Apa sebenarnya
yang dia rasakan sekarang. Dia pun kembali ke tempat rantau nya. Dia pun sibuk
dengan kegiatannya. Dan disini aku percaya saja bahwa dia memang sibuk dan aku
bisa apa. Hari demi hari sudah hilang kata – kata manis darinya. Pertengkaran sering
terjadi. Kepedulianku terhadapnya tak pernah lagi diindahkan. Kasih sayang ku
yang sangat besar bahkan tak pernah dia pahami.
Sesungguhnya dia tahu,
bahwa aku sudah sejak lama sadar dia bosan, dia jenuh, dan dia juga mejauh. Tapi
aku masih setia bertahan untuk dirinya dan rasa sayang yang sudah mendalam ini. Aku memutar otak. Lagi
- lagi aku berusaha membuang egois dalam diriku dan merubahnya menjadi sabar. Aku
hanya berharap penantian dan rasa sayang ini tidak sia – sia. Tapi apa dayaku. Hanya
aku yang berusaha mati – matian menjaga hubungan ini agar baik – baik saja.
Dia berusaha agar aku
tak khawatir dengan dirinya disana. Tetap terlihat manis di lusa dan pagi itu. Tapi
malam pun tiba. Hujan turun dengan derasnya. Nada deringku berbunyi. Andi
menghubungiku.
“Nina, aku tidak bisa
lagi jalani hubungan ini. Aku tidak bisa bohong kepadamu dan perasaanku
sendiri. Aku memang bosan. Aku memang menjauhimu. Jika sekarang ada yang bisa
kulakukan, aku hanya dapat meminta seribu maaf kepadamu”, lirih Andi.
Aku diam. Mencoba mencerna
semua kata – katanya. Aku tau hal ini akan terjadi. Bukan karena aku yang
salah. Entahlah aku tidak dapat berbuat apa – apa lagi. Setelah satu minggu
pertemuan indah kita dia mengukir kenangan buruk dihari sebelum ke 17 hubungan
ini. Mungkin aku yang terlalu bodoh. Terlalu percaya semua perkataan mu. Hingga
kau tega mendorongku dari jurang yang tinggi seperti ini. Apa yang bisa aku
lakukan lagi? Aku sudah berusaha mati – matian demi hubungan ini. Tapi apa
daya. Aku tidak bisa mempertahankan jika aku sendirian.
Memang seharusnya aku
yang mundur. Sudah tak ada lagi yang bisa ku berikan kepadamu. Air mataku sudah
kering. Senyumku sudah hilang. Kasih sayangku sudah habis. Dari sini aku hanya
dapat mengirimi mu doa. Pencipta ku lebih tau mana yang terbaik. Tak perlu kau
menjauh, aku tak kan mendekat.
S.F.R