Sabtu, 25 Maret 2017

Etika Profesi (Peraturan dan Regulasi UU No.19 tahun 2002 tentang Hak CIpta)



UU No.19 tentang Hak Cipta
Berdasarkan UU RI no 19 tahun 2002
Bab 1 mengenai Ketentuan Umum, pasal 1
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama - sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya, dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.

Ketentuan Umum
Pada dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu ciptaan”. Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau “ciptaan”. Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri. Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah “hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 butir 1).

Lingkup Hak cipta
Lingkup hak cipta diatur didalam bab 2 mengenai LINGKUP HAK CIPTA pasal 2-28 :
Ciptaan yang dilindungi (pasal 12), Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain, ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim, seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan, arsitektur, peta, seni batik, fotografi, sinematografi, terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Ciptaan yang tidak ada Hak Cipta (pasal 13), hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim atau keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.

Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta
1. Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk :
a. Membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
b. Mengimpor dan mengekspor ciptaan,
c. Menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
d. Menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
e. Menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan “hak eksklusif” dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk “kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun”.
Selain itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula “hak terkait”, yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).

Perlindungan Hak Cipta
Perlindungan hak cipta pada umumnya berarti bahwa penggunaan atau pemakaian dari hasil karya tertentu hanya dapat dilakukan dengan ijin dari pemilik hak tersebut. Yang dimaksud menggunakan atau memakai di sini adalah mengumumkan, memperbanyak ciptaan atau memberikan ijin untuk itu. Pasal 12 ayat 1 :
(1) Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup :
a. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu ;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim;
f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. Arsitektur;
h. Peta;
i. Seni batik;
j. Fotografi;
k. Sinematografi;
l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.

(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.”

Menurut Pasal 1 ayat 8 :
Program komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk penyiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.

Dan Pasal 2 ayat 2:
Pencipta dan /atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan program computer (software) memberikan izin atau melarng orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Pembatasan Hak Cipta
Pembatasan Hak cipta, Pembatasan mengenai hak cipta diatur dalam pasal 14, 15, 16 (ayat 1-6), 17, dan 18. Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah “kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan”. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Selain itu, Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun melarang penyebaran ciptaan “yang apabila diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan, ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara, bertentangan dengan norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum” (pasal 17). Ketika orang mengambil hak cipta seseorang maka orang tersebut akan mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang dilakukan. Menurut UU No.19 Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa). Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

Prosedur Pendaftaran HAKI
Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta pasal 35, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]. Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs webDitjen HKI. “Daftar Umum Ciptaan” yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dandapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya. Prosedur mengenai pendaftaran HAKI diatur dalam bab 4, pasal 35-44.

Kesimpulan
Apa yang telah diciptakan dan dibuat oleh pencipta berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi dapat diakui sebagai hasil karya yang sah yang dapat kita miliki. Hal ini disebut dengan hak cipta. Di Indonesia hak cipta telah diatur dengan adanya UU No.19 tahun 2002 yang pada pasal 1 butir 1 berisi,” Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Sehingga segala sesuatu yang melanggar tentang hak cipta akan dilakukan penghukuman sesuai dengan undang – undang yang ada.

Daftar Pustaka

Jumat, 24 Maret 2017

JURNAL ETIKA PROFESI (PENANGANAN CYBERCRIME)


Penanganan Cybercrime

Agnes Sekar, Dita Logiarti, Niken Pratiwi dan Suci Fajarwati
Jurusan Sistem Informasi, Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi, Universitas Gunadarma
Kota Depok, Jawa Barat – 16424, Indonesia






Abstrak — Meskipun dapat mempermudah kegiatan sehari – hari dengan berkembangnya teknologi inofrmasi menyebabkan banyaknya kejahatan yang ada pada dunia komputerisasi. Kejahatan – kejahatan ini perlu diatasi dengan melakukan pencegahan dan menghukum orang – orang yang melakukan kejahatan komputer.
Keywords— kehajatan computer, cybercrime, penanganan, pencegahan,

                                                                                                                                                                  I.   Pendahuluan

Saat pertama kali diciptakan, komputer merupakan sebuah mesin dengan kemampuan terbatas, dari waktu ke waktu mesin tersebut mengalami perkembangan yang signifikan baik dari sisi kemampuan maupun ukuran. Hampir di berbagai bidang dapat  menggunakan komputer di aktivitas hariannya, begitu pula dengan pemakai perseorangan. Terlebih lagi sejak ditemukannya internet yang memberikan dampak jauh lebih besar pada komunikasi berbasis komputer, dan mendorong pula dilakukannya transaksi bisnis via Internet. Banyak perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan fasilitas komputer dan juga internet.
Perkembangan Internet yang semakin hari semakin pesat baik teknologi dan penggunaannya, membawa banyak dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif yang ditimbulkan adalah kita menjadi lebih mudah dalam menyelesaikan segala macam kegiatan. Tapi, teknologi Internet juga membawa dampak negatif yang tidak kalah banyak dengan manfaat yang dihasilkan. Internet membuat kejahatan yang semula bersifat konvensional berkembang menjadi sebuah kejahatan modern dengan tingkat kerugian yang lebih besar dengan dampak yang luas. Contohnya; Dunia perbankan melalui Internet (e-banking) Indonesia, dikejutkan oleh ulah seseorang bernama Steven Haryanto, seorang hacker dan jurnalis pada majalah Master Web. Lelaki asal Bandung ini dengan sengaja membuat situs asli tapi palsu layanan Internet banking Bank Central Asia, (BCA). Steven membeli domain-domain dengan nama mirip http://www.klikbca.com (situs asli Internet banking BCA), yaitu domain http://www.klik-bca.com, www.kilkbca.com, http://www.clikbca.com, http://www.klickbca.com dan http://www.klikbac.com. Isi situs-situs plesetan inipun nyaris sama, kecuali tidak adanya security untuk bertransaksi dan adanya formulir akses (login form) palsu. Jika nasabah BCA salah mengetik situs BCA asli maka nasabah tersebut masuk perangkap situs plesetan yang dibuat oleh Steven sehingga identitas pengguna (user id) dan nomor identitas personal (PIN) dapat di ketahuinya.
Perkembangan yang pesat dalam pemanfaatan jasa internet pada akhirnya mengundang terjadinya kejahatan, yang lebih dikenal dengan nama Cybercrime. Cybercrime merupakan perkembangan dari computer crime.

                                                                                                                                                                  II.         Pembahasan

A.    Definisi Cybercrime

Berikut beberapa pendapat tentang apa yang dimaksud dengan Cybercrime. Menurut Teguh Wahyono, S. Kom, 2006 cybercrime adalah Perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet yang berbasis pada kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi.
Beberapa definisi lain seperti yang terangkum dalam artikel Golose (2006) antara lain menurut The U.S. Department of Justice memberikan pengertian computer crime sebagai:"…any illegal act requiring knowledge Computer technology for its perpetration,
investigation, or prosecution". Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European Community Development, yaitu: "any illegal, unethical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of data".
Andi Hamzah mengartikan Cybercrime sebagai kejahatan di bidang komputer secara umum sebagai penggunaan komputer secara ilegal. Dari beberapa pengertian di atas, cybercrime dapat dirumuskan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan memakai jaringan komputer sebagai sarana / alat atau komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain.

B.    Jenis – Jenis Cybercrime

Berdasarkan jenis aktifitas yang dilakukannya :
1. Unauthorized Access
Merupakan kejahatan yang terjadi ketika seseorang memasuki atau menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin, atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Probing dan port merupakan contoh kejahatan ini

2. Illegal Contents
Merupakan kejahatan yang dilakukan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang suatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hokum atau mengganggu ketertiban umum. Contohnya adalah penyebaran pornografi.

3. Penyebaran Virus Secara Sengaja
Penyebaran virus pada umumnya dilakukan dengan menggunakan email. Sering kali orang yang system emailnya terkena virus tidak menyadari hal ini. Virus ini kemudian dikirimkan ke tempat lain melalui emailnya.

4. Data Forgery
Kejahatan jenis ini dilakukan dengan tujuan memalsukan data pada dokumen – dokumen penting yang ada di internet. Dokumen – dokumen ini biasanya dimiliki oleh institusi atau lembaga yang memiliki situs berbasis web database.

5. Cyber Espionage, Sabotage, and Extortion
Cyber Espionage merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer pihak sasaran. Sabotage and Extortion merupakan jenis kejahatan yang dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.

6. Cyberstalking
Kejahatan jenis ini dilakukan untuk mengganggu atau melecehkan seseorang dengan memanfaatkan komputer, misalnya menggunakan e-mail dan dilakukan berulang-ulang. Kejahatan tersebut menyerupai teror yang ditujukan kepada seseorang dengan memanfaatkan media internet. Hal itu bisa terjadi karena kemudahan dalam membuat email dengan alamat tertentu tanpa harus menyertakan identitas diri yang sebenarnya.

7. Carding
Carding merupakan kejahatan yang dilakukan untuk mencuri nomor kartu kredit milik orang lain dan digunakan dalam transaksi perdagangan di internet.

8. Hacking dan Cracker
Istilah hacker biasanya mengacu pada seseorang yang punya minat besar untuk mempelajari sistem komputer secara detail dan bagaimana meningkatkan kapabilitasnya. Adapun mereka yang sering melakukan aksi-aksi perusakan di internet lazimnya disebut cracker. Boleh dibilang cracker ini sebenarnya adalah hacker yang yang memanfaatkan kemampuannya untuk hal-hal yang negatif. Aktivitas cracking di internet memiliki lingkup yang sangat luas, mulai dari pembajakan account milik orang lain, pembajakan situs web, probing, menyebarkan virus, hingga pelumpuhan target sasaran. Tindakan yang terakhir disebut sebagai DoS (Denial Of Service). Dos attack merupakan serangan yang bertujuan melumpuhkan target (hang, crash) sehingga tidak dapat memberikan layanan.

9. Cybersquatting and Typosquatting
Cybersquatting merupakan kejahatan yang dilakukan dengan mendaftarkan domain nama perusahaan orang lain dan kemudian berusaha menjualnya kepada perusahaan tersebut dengan harga yang lebih mahal. Adapun typosquatting adalah kejahatan dengan membuat domain plesetan yaitu domain yang mirip dengan nama domain orang lain. Nama tersebut merupakan nama domain saingan perusahaan.

10. Hijacking
Hijacking merupakan kejahatan melakukan pembajakan hasil karya orang lain. Yang paling sering terjadi adalah Software Piracy (pembajakan perangkat lunak).

11. Cyber Terorism
Suatu tindakan cybercrime termasuk cyber terorism jika mengancam pemerintah atau warganegara, termasuk cracking ke situs pemerintah atau militer. Beberapa contoh kasus Cyber Terorism sebagai berikut:
- Ramzi Yousef, dalang penyerangan pertama ke gedung WTC, diketahui menyimpan detail serangan dalam file yang di enkripsi di laptopnya.
- Osama Bin Laden diketahui menggunakan steganography untuk komunikasi jaringannya.
- Suatu website yang dinamai Club Hacker Muslim diketahui menuliskan daftar tip untuk melakukan hacking ke Pentagon.
- Seorang hacker yang menyebut dirinya sebagai DoktorNuker diketahui telah kurang lebih lima tahun melakukan defacing atau mengubah isi halaman web dengan propaganda anti-American, anti-Israel dan pro-Bin Laden.

Berdasarkan motif kegiatan :
1. Cybercrime sebagai tindakan murni kriminal
Kejahatan yang murni merupakan tindak kriminal merupakan kejahatan yang dilakukan karena motif kriminalitas. Kejahatan jenis ini biasanya menggunakan internet hanya sebagai sarana kejahatan. Contoh kejahatan semacam ini adalah Carding, yaitu pencurian nomor kartu kredit milik orang lain untuk digunakan dalam transaksi perdagangan di internet. Juga pemanfaatan media internet (webserver, mailing list) untuk menyebarkan material bajakan. Pengirim e-mail anonim yang berisi promosi (spamming) juga dapat dimasukkan dalam contoh kejahatan yang menggunakan internet sebagai sarana. Di beberapa negara maju, pelaku spamming dapat dituntut dengan tuduhan pelanggaran privasi.

2. Cybercrime sebagai kejahatan “abu -  abu”
Pada jenis kejahatan internet yang masuk dalam wilayah “abu – abu”, cukup sulit menentukan apakah itu merupakan tindak criminal atau bukan mengingat motif kegiatannya terkadang bukan untuk kejahatan. Salah satu contohnya adalah probing atau portscanning. Ini adalah sebutan untuk semacam tindakan pengintaian terhadap system milik orang lain dengan mengumpulkan informasi sebanyak – banyaknya dari system yang diintai. Termasuk system operasi yang digunakan, port – port yang ada, baik yang terbuka maupun tertutup, dan sebagainya.

Berdasarkan sasaran kejahatan :
1. Cybercrime yang menyerang individu (Against Person)
Jenis kejahatan ini, sasaran serangannya ditujukan kepada perorangan atau individu yang memiliki sifat atau kriteria tertentu sesuai tujuan penyerangan tersebut. Beberapa contoh kejahatan ini antara lain :
2. Pornografi
Kegiatan yang dilakukan dengan membuat, memasang, mendistribusikan, dan menyebarkan material yang berbau pornografi, cabul, serta mengekspos hal-hal yang tidak pantas.
3. Cyberstalking
Kegiatan yang dilakukan untuk mengganggu atau melecehkan seseorang dengan memanfaatkan komputer, misalnya dengan menggunakan e-mail yang dilakukan secara berulang-ulang seperti halnya teror di dunia cyber. Gangguan tersebut bisa saja berbau seksual, religius, dan lain sebagainya.
4. Cyber-Tresspass
Kegiatan yang dilakukan melanggar area privasi orang lain seperti misalnya Web Hacking. Breaking ke PC, Probing, Port Scanning dan lain sebagainya.
5. Cybercrime menyerang hak milik (Againts Property)
Cybercrime yang dilakukan untuk menggangu atau menyerang hak milik orang lain. Beberapa contoh kejahatan jenis ini misalnya pengaksesan komputer secara tidak sah melalui dunia cyber, pemilikan informasi elektronik secara tidak sah/pencurian informasi, carding, cybersquating, hijacking, data forgery dan segala kegiatan yang bersifat merugikan hak milik orang lain.
6. Cybercrime menyerang pemerintah (Againts Government)
Cybercrime Againts Government dilakukan dengan tujuan khusus penyerangan terhadap pemerintah. Kegiatan tersebut misalnya cyber terorism sebagai tindakan yang mengancam pemerintah termasuk juga cracking ke situs resmi pemerintah atau situs militer.

C.    Pencegahan dan Penanggulangan Cybercrime

Tindak pidana cybercrime memakan korban yang tidak sedikit jumlahnya, terutama dari sisi finansial. Sebagian besar korban hanya bisa menyesali apa yang sudah terjadi. Mereka berharap bisa belajar banyak dari pengalaman yang ada, yang perlu dilakukan sekarang adalah melakukan pencegahan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat merugikan kita sebagai pelaku IT. Pencegahan itu dapat berupa:
·         Educate User (memberikan pengetahuan baru terhadap Cyber Crime dan dunia nternet)
·         Use hacker’s perspective (menggunakan pemikiran dari sisi hacker untuk melindungi sistem Anda)
·         Patch System (menutup lubang-lubang kelemahan pada sistem)
·         Policy (menentukan kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang melindungi sistem anda dari orang-orang yang tidak berwenang)
·         IDS (Intrusion Detection System) bundled with IPS (Intrusion Prevention System)
·         Firewall AntiVirus

Beberapa langkah penting yang harus dilakukan dalam penanggulangan Cybercrime adalah :
·  Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut.
·  Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional
·  Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkaraperkara yang berhubungan dengan Cybercrime
·  Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah Cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi
·  Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan Cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties.

D.    Tindakan Hukum bagi Pelaku Cybercrime

Cybercrime law dan regulasi yang tepat di bidang ICT dianggap penting dalam menarik investasi maupun pengembangan perekonomian yang berbasis IT. Cybercrime potensial menimbulkan kerugian pada beberapa bidang : politik, ekonomi, sosial budaya yang lebih besar dampaknya dibandingkan dengan kejahatan yang berintensitas tinggi lainnya. Di masa mendatang dapat menganggu perekonomian nasional melalui jaringan infrastruktur yang berbasis teknologi elektronik (perbankan, telekomunikasi satelit, jaringan listrik, dan jaringan lalu lintas penerbangan Ishak, 2002 (dalam Setiyadi, 2003). Menjawab tuntutan dan tantangan komunikasi global lewat Internet, Undang-Undang yang diharapkan (ius konstituendum) adalah perangkat hukum yang akomodatif terhadap perkembangan serta antisipatif terhadap permasalahan, termasuk dampak negatif penyalahgunaan Internet dengan berbagai motivasi yang dapat menimbulkan korban-korban seperti kerugian materi dan non materi. Peraturan dan perundangan di bidang ICT termasuk Cybercrime law diperlukan karena (setiyadi, 2003):
1.       Melindungi integritas pemerintah dan menjaga reputasi suatu negara.
2.       Membantu negara terhindar dari menjadi surga bagi pelaku kejahatan, seperti teroris, kejahatan terorganisasir, dan operasi penipuan.
3.       Membantu negara terhindar dari sebutan sebagai tempat yang nyaman untuk menyimpan aplikasi atau data hasil kejahatan cybercrime.
4.       Meningkatkan kepercayaan pasar karena adanya kepastian hukum yang mampu melindungi kepentingan dalam berusaha.
5.       Memberikan perlindungan terhadap data yang tergolong khusus (classified), rahasia, informasi yang bersifat pribadi, data pengadilan kriminal, dan data publik yang dianggap perlu untuk dilindungi.
6.       Melindungi konsumen, membantu penegakan hukum, dan aktivitas intelligen. Mencegah korupsi.
7.       Meningkatkan keamanan nasional dan mengurangi kerentanan dari serangan dan aksi
oleh teroris dan mereka yang berniat jahat.
8.       Melindungi dunia usaha dari resiko bisnis seperti kehilangan pangsa pasar, rusaknya
reputasi, penipuan, tuntutan hukum dari publik, dan kasus perdata maupun pidana.
9.       Sebagai sarana untuk menghukum pelaku kejahatan di bidang teknologi informasi.
10.    Meningkatkan peluang bagi diakuinya catatan elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan dalam kasus kejahatan biasa seperti pencurian, penipuan, pembunuhan, penculikan dan lain – lain, atau kejahatan komputer dan kejahatan yang dilakukan menggunakan Internet.

Pengaturan hukum dalam Internet masih relatif baru dan terus berkembang, ada dorongan pengaturan yang bersifat global, namun kedaulatan hukum menjadikannya tidak mudah terlaksana. Hal ini menjadi salah satu kelemahan dari penegakan cybercrime law terutama jika menyangkut perkara kejahatan yang dilakukan oleh individu atau entitas bisnis yang berada di negara lain.
Konstitusi suatu negara tidak dapat dipaksakan kepada negara lain karena dapat bertentangan dengan kedaulatan dan konstitusi negara lain, oleh karena itu hanya berlaku di negara yang bersangkutan saja, seperti pada kasus berikut :
- Yahoo vs Perancis: Yahoo menjual atribut Nazi yang dilarang di Perancis
- Google vs China: Pemerintah China memblokir situs Google dan mengalihkan ke situs Pemerintah.
Kasus Cybercrime terjadi hampir di setiap negara di dunia dan masing-masing negara mempunyai cara penanganan yang berbeda, (Rahardjo, 2001). Pada Amerika Serikat memiliki:
a) Computer Crime and Intellectual Property Section (CCIPS) of the Criminal Division of the U.S. Departement of Justice. Institusi ini memiliki situs web <http://www.cybercrime.gov> yang memberikan informasi tentang cybercrime. Namun banyak informasi yang masih terfokus kepada computer crime.
b)  National Infrastructure Protection
Center (NIPC) merupakan sebuah institusi pemerintah Amerika Serikat yang menangani masalah yang berhubungan dengan infrastruktur. Institusi ini mengidentifikasi bagian infrastruktur yang penting (critical) bagi negara (khususnya bagi Amerika Serikat). Situs web: <http://www.nipc.gov>. Internet atau jaringan komputer sudah dianggap sebagai infrastruktur yang perlu mendapat perhatian khusus. Institusi ini memberikan advisory
c) The National Information Infrastructure Protection Act of 1996
d) CERT yang memberikan advisory tentang adanya lubang keamanan (Security holes).
Sedangkan Korea memiliki Korea Information Security Agency yang bertugas untuk melakukan evaluasi perangkat keamanan komputer & Internet, khususnya yang akan digunakan oleh Pemerintah.
Saat ini, Indonesia belum memiliki Undang - Undang khusus/ cyber law yang mengatur mengenai cybercrime, walaupun rancangan undang undang tersebut sudah ada sejak tahun 2000 dan revisi terakhir dari rancangan undang-undang tindak pidana di bidang teknologi informasi sejak tahun 2004 sudah dikirimkan ke Sekretariat Negara RI oleh Departemen Komunikasi dan Informasi serta dikirimkan ke DPR namun dikembalikan kembali ke Departemen Komunikasi dan Informasi untuk diperbaiki.
Dalam Upaya Menangani kasus-kasus yg terjadi khususnya yang ada kaitannya dengan Cybercrime, para Penyidik ( khususnya Polri ) melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaan terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP Pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP pada Cybercrime antara lain:
1. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), pasal-pasal yang terkait :
a. Pasal 362 KUHP tentang pencurian ( Kasus carding ) Carding sendiri dalam versi POLRI meliputi (Arifiyadi, 2008):
i. Mendapatkan nomor kartu kredit (CC) dari tamu hotel, khususnya orang asing.
ii. Mendapatkan nomor kartu kredit melalui kegiatan chatting di Internet.
iii. Melakukan pemesanan barang ke perusahaan di luar negeri dengan menggunakan Jasa Internet.
iv. Mengambil dan memanipulasi data di Internet.
v. Memberikan keterangan palsu, baik pada waktu pemesanan maupun pada saat pengambilan barang di Jasa Pengiriman (kantor pos, UPS, Fedex, DHL, TNT, dan lain-lain.). Carding (pelakunya biasa disebut carder), adalah kegiatan melakukan transaksi e-commerce dengan nomor kartu kredit palsu atau curian. Pelaku tidak harus melakukan pencurian atau pemalsuan kartu kredit secara fisik, melainkan pelaku cukup mengetahui nomor kartu dan tanggal kadaluarsanya saja .
b. Pasal 378 KUHP tentang Penipuan (Penipuan melalui website seolah-olah menjual barang).
c. Pasal 311 KUHP Pencemaran nama Baik (melalui media internet dengan mengirim email kepada Korban maupun teman-teman korban).
d. Pasal 303 KUHP Perjudian (permainan judi online).
e. Pasal 282 KUHP Pornografi (Penyebaran pornografi melalui media internet).
f. Pasal 282 dan 311 KUHP (tentang kasus Penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di Internet).
g. Pasal 378 dan 362 (tentang kasus Carding karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membayar, dengan kartu kredit hasil curian ).

2. Undang-Undang No.19 Thn 2002 tentang Hak Cipta, Khususnya tentang Program Komputer atau software.

3. Undang-Undang No.36 Thn 1999 tentang Telekomukasi, (penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi).

4. Undang-undang No.25 Thn 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.15 Thn 2002 tentang Pencucian Uang.

5. Undang-Undang No.15 thn 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

E.    Hambatan dalam Penanganan Cybercrime

Meskipun sudah ada beberapa pasal yang bisa menjerat pelaku Cybercime ke penjara masih dijumpai adanya hambatan-hambatan dalam pelaksanaan di lapangan yang antara lain sebagai berikut (Noor, 2005):
1) Perangkat hukum yang belum memadai
Para penyidik ( khususnya Polri ) melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaan terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP sependapat bahwa perlu dibuat undangundang yang khusus mengatur cybercrime.
2) Kemampuan penyidik
Secara umum penyidik Polri masih sangat minim dalam penguasaan operasional komputer dan pemahaman terhadap hacking komputer serta kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus itu. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh (determinan) adalah:
a. Kurangnya pengetahuan tentang komputer.
b. Pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-kasus Cybercrime masih terbatas.
c. Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para penyidik.
3) Alat Bukti
Persoalan alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap Cybercrime antara lain berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu sendiri, yaitu ; sasaran atau media cybercrime adalah data dan atau sistem komputer atau sistem internet yang sifatnya mudah diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelakunya, Cybercrime seringkali dilakukan hampir-hampir tanpa saksi, di sisi lain, saksi korban seringkali berada jauh di luar negeri sehingga menyulitkan penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan pemberkasan hasil penyidikan.
4) Fasilitas komputer forensik
Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker, dan cracker dalam melakukan aksinya terutama yang berhubungan dengan program-program dan data-data komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada komputer forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap datadata digital serta merekam dan menyimpan bukti-bukti berupa soft copy (image, program, dsb). Dalam hal ini Polri masih belum mempunyai fasilitas forensic computing yang memadai. Fasilitas forensic computing yang akan didirikan Polri diharapkan akan dapat melayani tiga hal penting yaitu evidence collection, forensic analysis, expert witness.

                                                                                                                                                                  III.        Kesimpulan

Cyber crime merupakan fenomena sosial yang membuka cakrawala keilmuan dalam dunia hukum. Hal ini dimaksudkan betapa dasyatnya suatu kejahatan dapat dilakukan hanya dengan berduduk manis didepan komputer. Cyber Crime merupakan sisi gelap dari kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang membawa implikasi sangat luas dalam seluruh bidang kehidupan yang terkait erta dengan economic crime dan organized crimes. Hal ini berkaitan karena cyber crime terjadi dengan adanya transaksi jual beli di dunia maya, seperti contohnya terjadinya tindak pidana penipuan akibat transaksi jual beli barang melalui sarana internet. Latar belakang seseorang melakukan cyber crime dalam hal ini tindak pidana penipuan transaksi jual – beli barang melalui internet adalah adanya peluang (oppurtunity ), faktor ekonomi dimana seseorang selalu tidak pernah merasa puas, kemampuan seseorang dalam teknologi informasi, perkembangan teknologi yang semakin pesat dan longgarnya kebijakan undang-undang . Faktor Ekonomi dan pola pikir masyarakat Indonesia yang selalu tergiur akan barang murah maupun barang diskon merupakan akar yang penting atau sebab yang penting mengapa seseorang melakukan tindak pidana penipuan dalam transaksi jual – beli barang di Internet . Untuk meminimalisasikan tindak tersebut, pemerintah memiliki upaya-upaya perlindungan dalam melindungi masyarakat yaitu memberikan peringatan, penyuluhan mengenai bahaya-bahaya yang terdapat dalam dunia maya, dan memberikan informasi mengenai serangan serta teknik pengantisipasian terhadap ancaman ancaman yang mungkin terjadi di dunia maya.

Daftar Pustaka
[3]     irmarr.staff.gunadarma.ac.id