Sabtu, 30 November 2013

BAB X AGAMA DAN MASYARAKAT

BAB X AGAMA DAN MASYARAKAT

10.1 Agama dan Masyarakat
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Agama dan masyarakat memiliki keterkaitan yang dibuktikan dengan adanya penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan bukti tersebut sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Peraturan agama dalam masyarakat penuh dengan hidup, menekan pada hal-hal yang normative atau menunjuk kepada hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Adanya latar belakang sosial yang berbeda dari masyarakat agama, maka masyarakat akan memiliki sikap dan nilai yang berbeda juga. Terkadang dengan adanya prinsip agama yang berbeda, kepentingannya dapat tercermin atau tidak sama sekali. Perlu adanya pembelajaran mengenai pengaruh struktur sosial tehadap agama agar tidak terjadi konflik baik dalam masyarakat yang menganut agama yang sama maupun masayrakat dengan agama yang berbeda.

10.2  Fungsi Agama
Terdapat tiga aspek penting untuk mendikusikan fungsi agama dalam masyarakat yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Menurut Roland Robertson (1984), fungsionalisme agama diklasifikasikan menjadi sebagai berikut :
1.      Dimensi keyakinan mengandung perkiraan bahwa orang religious akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama.
2.      Praktek agama mencakup perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata.
3.      Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu yaitu orang yang benar-benar religious pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan, meskipun singkat, dengan suatu perantara yang supernatural.
4.      Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religious akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
5.      Dimensi konsekuensi dari komitmen religious berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.

10.3  Kelembagaan Agama
Lembaga Agama adalah sistem keyakinan dan praktek keagamaan dalam masyarakat yang telah dirumuskan dan dibakukan. Fungsi Lembaga agama adalah:
1.      Pengatur tata cara hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan.
2.      Tuntutan prinsip benar dan salah.
3.      Pedoman pengungkapan perasaan kebersamaan di dalam agama diwajibkan berbuat baik terhadap sesama.
4.      Pedoman keyakinan manusia berbuat baik selalu disertai dengan keyakinan bahwa perbuatannya itu merupakan kewajiban dari Tuhan dan yakin bahwa perbuatannya itu akan mendapat pahala, walaupun perbuatannya sekecil apapun.
5.      Pedoman keberadaan yang pada hakikatnya makhluk hidup di dunia adalah ciptaan Tuhan semata.
6.      Pengungkapan estetika manusia cenderung menyukai keindahan karena keindahan merupakan bagian dari jiwa manusia.
7.      Pedoman untuk rekreasi dan hiburan. Dalam mencari kepuasan batin melalui rekreasi dan hiburan, tidak melanggar kaidah-kaidah agama.

10.4  Konflik Agama
Konflik agama adalah suatu pertikaian antar agama baik antar sesama agama itu sendiri, maupun antar agama satu dengan agama lainnya. Konflik agama ini bisa terjadi karena ada penyebabnya. Hendropuspito mengemukakan bahwa paling tidak ada empat hal pokok sebagai penyebab konflik sosial yang bersumber dari agama. Teori Hendropuspito dibagi dalam empat hal, yaitu:
1.      Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
2.      Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
3.      Perbedaan Tingkat Kebudayaan
4.      Masalah Mayoritas dan Minoritas Golongan Agama
Setelah melakukan penelitian dan diskusi lintas agama di Indonesia selama bertahun-tahun, bagi Associated Professor yang merupakan alumni UKSW ini, konflik agama di Indonesia disebabkan oleh :
1.      Meningkatnya konservatisme dan fundamentalisme agama.
2.      Keyakinan bahwa hanya ada satu intepretasi dan kebenaran yang absolute.
3.      Ketidakdewasaan umat beragama.
4.      Kurangnya dialog antar agama.
5.      Kurangnya ruang publik dimana orang-orang yang berbeda agama dapat bertemu.
6.      Kehausan akan kekuasaan.
7.      Ketidakterpisahan antara agama dan Negara.
8.      Ketiadaan kebebasan beragama.
9.      Kekerasan agama tidak pernah diadili.
10.  Kemiskinan dan ketidakadilan.
11.  Hukum agama lebih diutamakan ketimbang akhlak orang beragama.
      Konflik agama ini ada baiknya tidak hanya dibiarkan karena akan menimbulkan perang antar suku dan agama yang lebih besar. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menangani konflik antar agama antara lain :
1.      Dalam menangani konflik antar agama, jalan terbaik yang bisa dilakukan adalah saling mentautkan hati di antara umat beragama, mempererat persahabatan dengan saling mengenal lebih jauh, serta menumbuhkan kembali kesadaran bahwa setiap agama membawa misi kedamaian.
2.      Tidak memperkenankan pengelompokan domisili dari kelompok yang sama didaerah atau wilayah yang sama secara eksklusif. Jadi tempat tinggal/domisili atau perkampungan sebaiknya mixed, atau campuran dan tidak mengelompok berdasarkan suku (etnis), agama, atau status sosial ekonomi tertentu.
3.      Masyarakat pendatang dan masyarakat atau penduduk asli juga harus berbaur
atau membaur atau dibaurkan.
4.      Segala macam bentuk ketidakadilan struktural agama harus dihilangkan atau
dibuat seminim mungkin.
5.      Kesenjangan sosial dalam hal agama harus dibuat seminim mungkin, dan sedapat – dapatnya dihapuskan sama sekali.
6.      Perlu dikembangkan adanya identitas bersama (common identity) misalnya kebangsaan (nasionalisme-Indonesia) agar masyarakat menyadari pentingnya persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
      Mengembangkan kegiatan pendamaian itu tidak mudah. Ada beberapa tahapan atau perkembangan yang dapat kita amati yaitu:
1.      Peace making (conflict resolution) yaitu memfokuskan pada penyelesaian masalah – masalahnya (isunya: persoalan tanah, adat, harga diri, dsb.) dengan pertama-tama menghentikan kekerasan, bentrok fisik, dll. Waktu yang diperlukan biasanya cukup singkat, antara 1-4 minggu.
2.      Peace keeping (conflict management) yaitu menjaga keberlangsungan perdamaian yang telah dicapai dan memfokuskan penyelesaian selanjutnya pada pengembangan/atau pemulihan hubungan (relationship) yang baik antara warga masyarakat yang berkonflik. Untuk itu diperlukan waktu yang cukup panjang, sehingga dapat memakan waktu antara 1-5 tahun.
3.      Peace building (conflict transformation). Dalam usaha peace building ini yang menjadi fokus untuk diselesaikan atau diperhatikan adalah perubahan struktur dalam masyarakat yang menimbulkan ketidak-adilan, kecemburuan, kesenjangan, kemiskinan, dsb. Waktu yang diperlukan pun lebih panjang lagi, sekitar 5-15 tahun.
10.5  Pendapat Mahasiswa Mengenai Agama dan Masyarakat
Agama merupakan suatu kepercayaan seseorang kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta suatu kaidah yang berhubungan dengan  manusia serta lingkungannya. Dengan adanya perbedaan  latar belakang sosial pada masyarakat, maka nilai dan sikap masyarakat itu sendiri akan berbeda juga.  Dengan adanya perbedaan ini maka akan timbul konflik antar masyarakat.  Konflik ini terjadi tidak hanya dengan agama yang berbeda melainkan bisa dari seseorang yang menganut agama yang ada. Hal ini sering sekali disebabkan  karena kurangnya dialog antar agama. Sehingga perlu dibukanya ruang publik untuk masyarakat berdialog bersama. Selain itu perlu adanya komunikasi antar agama agar dapat mempererat persahabatan dan kedamaian antar agama.
      
Referensi :

Nama     : Suci Fajarwati Ramadhan
Kelas     : 1KA08
NPM      : 18113656



Tidak ada komentar:

Posting Komentar